Bintang Jatuh

Ilustrasi bintang jatuh di sekolah (Sumber: AI Canva)

Oleh Rizal Gopek

Cahaya itu melintas di langit begitu cepat dengan warna kuning kemerahan di ekornya. Aku mulai memejamkan mata dan membuat satu permintaan kepada Tuhan. Hal itu aku lakukan setiap kali aku melihat bintang jatuh. Sebenarnya aku baru melihatnya dua kali dan aku ingin sekali untuk melihatnya lagi. Kakak yang mengajariku cara berdoa semacam itu, melangitkan doa dari sebuah cahaya yang jatuh. Sebenarnya aneh, tapi aku menyukainya.

Aku senang jika saat kakak pulang ke rumah. Kami berdua akan duduk di pelataran masjid selepas solat isya, kadang juga hanya kakak yang duduk sambil mengawasi aku bermain pasir. Pergi solat berjamaah bersama kakak selalu bisa menghindarkan aku dari jam belajar malam. Aku selalu ingin cepat menjadi dewasa. Belajar selalu membuatku mengantuk sedangkan bermain selalu membuat aku merasa gembira. Mengapa tidak ada cara belajar bisa terasa sangat gembira?

Aku lupa, pada hari apa kakak mengajariku mengucap harapan ketika melihat bintang jatuh. Yang aku ingat, saat itu aku sedang tidak ingin bermain di depan masjid namun juga tidak ingin segera pulang ke rumah. Jika aku langsung pulang, pasti ibu akan segera menyuruhku untuk kembali belajar. Aku memutuskan untuk rebahan di pelataran masjid sambil memakai paha kakak sebagai bantal. Tiba-tiba saja aku melihat ada cahaya kuning kemerahan melintas cepat di langit.

“Itu apa?” tanyaku. Aku bangun sambil jari telunjukku tetap menunjuk kearah langit.

“Indah sekali ya,” jawab kakak sambil memelukku dan memindahkanku ke pangkuannya.

“Orang-orang menyebutnya bintang jatuh. Namun sebenarnya itu meteor yang menghantam atmosfer kita lalu terbakar. Sebagian akan hancur berkeping-keping di angkasa, dan sebagian lagi mungkin ada yang bisa menembus lalu jatuh ke Bumi,” lanjutnya.

“Apakah meteor yang menembus atmosfer nanti bisa menghantam rumah seseorang?” tanyaku khawatir.

“Tentu saja bisa, tapi itu jarang sekali terjadi. Biasanya benda itu akan jatuh ke laut,” jawab kakak sambil tangan kanannya mengelus rambutku.

“Kakak dan orang-orang yang lain biasanya akan segera memejamkan mata sambil mengucapkan satu harapan di dalam hati jika melihat bintang jatuh,” sambung kakak sambil meraih tanganku untuk megajak aku berdoa. Aku segera memejamkan mata dan berdoa dalam hati, semoga kakak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi. Besok aku masih ingin ke masjid ini untuk memandang langit, berharap ada bintang jatuh lagi kemudian membuat satu permintaan. Sebab saat ini, aku masih belum tahu aku harus mengharapkan apa, nanti saat tidur aku ingin memikirkan harapan itu.

Seingatku, saat itu jam masjid belum menunjukkan pukul delapan, tapi kakak sudah mengajakku untuk pulang. Biasanya kami duduk di emperan masjid sampai pukul delapan malam baru kakak akan menggendongku pulang. Ketika akan sampai di pelataran rumah, aku akan pura-pura tertidur di gendongan kakak, agar aku tidak lanjut belajar untuk pelajaran besok pagi.

Kakakku bernama Abadard. Aku sering memanggilnya dengan nama kak Aba. Dia sebenarnya bukan kakak kandungku, dia adalah kakak keponakanku yang sejak remaja dititipkan oleh orang tuanya di rumahku. Namun, aku sudah terlanjur menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri. Kedua orang tuaku juga sudah menganggap kak Aba sebagai anak pertamanya. Menurut yang aku dengar dari percakapan ibu dan keluarga yang lain, orang tua kak Aba ini sudah meninggal karena perang. Aku tidak pernah bertanya langsung pada kakak. Ibu melarang aku bertanya soal itu, katanya itu akan membuat kakak menjadi sedih.

Sesampainya di kasur, aku segera berpikir tentang harapan apa yang akan kutitipkan kepada bintang jatuh saat besok isya bila aku melihatnya lagi. Sebenarnya saat perjalanan pulang dari masjid, aku sudah mendapat dua pilihan. Pertama, aku ingin sekali libur sekolah. Dan yang kedua, aku berharap Ablah lekas sembuh agar kita bisa bermain petak umpet kembali.

***

Tiba-tiba saja azan subuh sudah merkumandang saat ibu menggoyang-goyangkan kakiku. Itu yang selalu dilakukan oleh ibu ketika waktu subuh tiba. Menggoyang-goyang kakiku dengan sangat pelan dan disusul dengan memanggil namaku sampai aku terbangun. Aku langsung menuju kamar mandi untuk mengambil wudu, lalu solat di kamar ditemani oleh ibu. Sampai usiaku sudah sembilan tahun ini, ibu masih menyuruhku untuk membaca keras-keras setiap bacaan solat. Ibu ingin memastikan bahwa bacaan yang aku lafalkan tidak keliru. Katanya, aku baru boleh membaca pelan atau dalam hati bacaan solat saat usiaku sudah sepuluh tahun dan bacaan solatku sudah benar-benar tidak ada yang salah.

Ketika aku solat, beberapa kali aku melihat ibu mengusap air matanya. Aku juga berkali-kali mendengar bapak memanggil-manggil nama ibu. Namun ibu tidak menjawabnya dan masih saja mengusap air matanya berkali-kali. Setelah salam, aku berdoa. Namun doaku tidak bisa fokus karena perasaan ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dari kamar terdengan lamat-lamat suara tv masih belum dimatikan.

Setelah solat selesai, ibu mencium keningku. Aku berjalan menuju ke arah tv, tiba-tiba ibu mengikuti aku dari belakang dan mematikan tv. “Langsung mandi saja, gak usah melihat tv,” kata ibu dengan matanya yang masih saja sembab.

Setelah mandi aku berjalan menuju kamar kak Aba. Aku ingin meminta pertimbangan, harapan yang mana yang lebih tepat untuk aku titipkan kepada bintang jatuh saat aku melihatnya lagi: liburan sekolah atau kesembuhan temanku si Ablah.

Aku juga ingin bertanya, apa penyebab bintang bisa jatuh. Jika dia bisa jatuh, bintang-bintang yang sekarang ini masih terlihat itu terkait di mana? Apakah mereka mempunyai tali? Atau, di luar sana ada seseorang yang sengaja melepaskan bintang itu dari pengaitnya? Tapi sayang, kak Aba sudah tidak ada di kamar. Lemarinya masih terbuka dan terlihat agak berantakan.

Ibu memberitahuku kalau kak Aba harus kembali bekerja tadi malam. Kata ibu, pekerjaan kak Aba ini sebagai pengantar obat, dia berkeliling kota. Terkadang kak Aba sering pulang ke rumah bersama ayah dalam satu mobil. Ayah juga sama, Ia jarang pulang seperti kak Aba.

***

Ibu sudah menyiapkan pakaian dan telah menggendong tas. Terlihat terlalu banyak yang dibawa ibu.

“Bukankah saat ini aku harus sekolah?” tanyaku kepada ibu.

“Kita akan berlibur di sekolahmu, bersama teman-temanmu, dan orang tua teman-temanmu yang lain. Kita akan menginap di sana,” jawab ibu dengan tersenyum, tetapi matanya masih berkaca-kaca walaupun tidak sesembab tadi subuh.

Kami berangkat menuju ke sekolah menggunakan mobil jeep bapak. Tapi saat itu bapak tidak ikut bersama kami. Bapak sedang berada di garasi dan terlihat seperti mengemasi beberapa barang untuk dimasukkan ke mobil jeepnya yang lain.

Sesampainya di sekolah, benar saja aku melihat teman-temanku yang lain sudah di sana. Mereka sudah berlarian kesana kemari tanpa aku tahu mereka sedang bermain apa. Aku sudah sangat senang melihat mereka dari jauh, ternyata ibu tidak membohongiku.

Saat aku bermain dengan teman-teman, aku dipanggil oleh ibu supaya tidak bermain terlalu jauh. Waktu aku bermain petak umpet, aku melihat langit begitu cerah pada pagi itu. Seperti tidak ada awan sama sekali. Beberapa temanku yang lain baru saja datang bersama keluarganya.

Aku tidak bisa fokus bermain. Kegembiraanku terbagi, hari ini aku benar-benar libur sekolah dan hari ini Ablah juga sudah membaik. Pada saat aku bersembunyi bersama Ablah, aku menceritakan bahwa semalam aku melihat bintang jatuh dan kak Aba mengajariku untuk mengucapkan harapan dalam hati.
Aku dan Ablah merebah badan di tempat persembunyian, memandangi langit yang cerah. Tiba-tiba saja aku melihat bintang jatuh menghantam gedung sekolahan dengan bunyi.

Buuuuum…

Semuanya terlihat sangat terang sampai aku tidak bisa melihat apapun. Kemudian pandanganku berangsur membaik meskipun masih menyisakan cahaya yang terang dan seperti tidak bisa fokus. Badanku sudah tidak bisa digerakkan lagi. Aku berusaha menoleh untuk melihat Ablah namun tidak bisa. Aku hanya bisa tersenyum dan memejamkan mata sambil mengucapkan satu permintaan seperti yang diajarkan oleh kak Aba di masjid malam itu.

Pandanganku berangsur meredup, cahaya terang kini sudah mulai benar-benar meredup dan tidak lama kemudian menjadi sangat gelap. Dalam gelap mata, wajah kak Aba muncul dan berkata, ‘Tetaplah tersenyum sambil mengucapkan doa dan harapan. Tenang sebentar lagi kita akan menang dan tidak akan ada lagi kita temui bintang jatuh yang sangat menyakitkan.’

Ilustrasi penyerangan sarana prasarana publik oleh Israel dengan rudal ke Palestina di malam hari (Sumber: AI Canva)

***

Cerita ini dibuat untuk mengenang peristiwa pengeboman yang dilakukan Israel kepada warga Palestina pada tanggal 4 November 2023. Bom tersebut dijatuhkan tepat di sekolah yang ditempati para pengungsi. Korban yang meninggal lebih dari 400 orang.

Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.

Pos Sebelumnya
Tidak Ada Komentar
Tambahkan Komentar
comment url