Rasan-rasan tentang Kita, KAUM MUDA!!!
Oleh: Idha Nafiatul Aisyi
Pemuda menempati posisi terbaik dalam berkembang, tentu juga untuk berjuang. Ia memiliki potensi sangat besar. Kekuatan fisik, kreativitas dan inovasi, semangat membara, pengembangan keterampilan, pembelajar yang baik sepanjang hayat. Pemuda adalah agen yang berpeluang menginspirasi tindakan-tindakan baik dan revolusioner.
Pada 2022, Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa angka pemuda Indonesia mencapai 68,82%, hampir menyentuh seperempat penduduk. Angka yang tidak sedikit. Akan tetapi, keberadaan pemuda bagai pisau bermata dua. Ia bisa begitu menguntungkan, begitupun sebaliknya.
Jumlah yang sangat banyak itu akan menjadi kekuatan ketika mereka berada dalam garis perjuangan yang benar, berjuang untuk menciptakan kondisi dunia yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, kita barang kali tidak akan bisa berharap banyak jika kedudukan pemuda justru turut melanggengkan status quo, enggan untuk melawan kondisi yang sedang berjalan.
Kondisi yang dihadapi kaum muda ini tidaklah mudah. Ia menghadapi persoalan dari berbagai sisi kehidupan mulai dari pendidikan, sosial, ekonomi, politik, hingga lain sebagainya. Tidak heran, sebagai kaum muda, ia kadang kala terjauhkan, terpisah, terasing dari entitas dirinya.
Mari kita lihat…
Kongres Sumpah Pemuda 1928 |
Katadata menyebutkan bahwa mayoritas pemuda, 31,73%, bekerja pada sektor jasa dengan penghasilan 1 juta hingga kurang dari 2 juta. 50% dari jumlah keseluruhan pemuda berkerja pada sektor buruh dengan didominasi oleh lulusan SMA yang mencapai proporsi 51,11%. Angka ini tentu sangat berdampak pada kesejahteraan.
Belum lagi, pendidikan makin hari makin sulit untuk diakses. Menurut survei HSBC tahun 2018, Indonesia menempati peringkat ke-13 dalam daftar negara dengan biaya pendidikan tertinggi di dunia. Sejak tahun 1992 hingga 2020, biaya kuliah telah meningkat sebesar 9900%, sementara pendapatan masyarakat hanya naik sebesar 266%. Menurut data dari BPS tahun 2022, DIY memiliki rata-rata biaya kuliah tertinggi melebihi 21%.
Negara makin melepaskan dirinya untuk bertanggungjawab pada hak pendidikan layak yang harusnya didapatkan oleh warga negaranya. Bayangkan, pada tahun 1994, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mencapai 81%. Namun, angka ini turun menjadi 53,3% pada tahun 2000 setelah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) terbentuk, dan terus mengalami penurunan menjadi 30-35% setelah transformasi menjadi PTN Badan Hukum (PTN-BH) (Global Economic Data, Indicators, Charts & Forecasts 2020). Menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2020, lebih dari setengah pendapatan PTN-BH berasal dari Biaya Pendidikan (UKT) yang dikenakan kepada mahasiswa. Fakta mencengangkannya adalah selama periode 2006-2015, korupsi di sektor pendidikan mengakibatkan kerugian negara sebesar 1,3 triliun rupiah. Dari total 425 kasus, mayoritas merupakan kasus penggelapan dana menurut laporan dari Indonesian Corruption Watch (ICW) pada tahun 2015.
Tentu ketimpangan akses pendidikan ini akan sangat berpengaruh pada jaminan kerja dan nasib kaum muda sekarang. Anak-anak dari rumah tangga miskin akan sulit untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Ia juga memiliki proporsi yang lebih kecil dalam bekerja di sektor formal dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga kaya. Selain itu, anak-anak dari rumah tangga miskin akan mendapatkan upah atau pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga kaya. Kesenjangan sosial akan semakin tinggi.
Kesenjangan sosial semakin ekstrem oleh terkonsentrasinya kapital pada segelintir elit. Tempo dalam laporannya menyebutkan bahwa dari tahun 2006 hingga 2022, terjadi lonjakan drastis dalam jumlah dan nilai kekayaan miliuner di Indonesia. Pada tahun 2006, hanya ada tujuh individu atau keluarga di Indonesia yang memiliki kekayaan di atas US$ 1 miliar (sekitar Rp 14,9 triliun). Akan tetapi, pada tahun 2022 jumlah ini meningkat menjadi 46 individu atau keluarga. Dalam dua dekade tersebut, total kekayaan miliuner tumbuh lebih dari 14 kali lipat, dari US$ 12,3 miliar (sekitar Rp 182,9 triliun) pada tahun 2006 menjadi US$ 176,7 miliar pada tahun 2022 (sekitar Rp 2.627,7 triliun), menunjukkan pertumbuhan sekitar 18,1 persen setiap tahun (tingkat pertumbuhan tahunan terkonsolidasi).
Tentu masih banyak fakta-fakta nyata di lapangan yang belum bisa disebutkan satu-persatu. Akan tetapi, kondisi ini baiknya kita manfaatkan untuk bersatu dan bersama-sama menghadapinya. Tidak ada alasan lagi. Pemuda adalah kelompok mayoritas, kelompok paling terdampak, orang yang memiliki potensi-potensi besar seperti yang disebutkan di awal.
Organisasi pemuda adalah jalan yang bisa kita tempuh sebagai alat perjuangan, tempat mengembangkan diri, tempat di mana kaum muda mengambil serta peran kepemimpinannya dalam berbagai bidang.
Tidak cukup dengan itu, kaum muda harus bersatu dalam kelompok-kelompok lain yang lebih luas. Petani, buruh, kaum miskin kota, intelektual, dan kaum tertindas lainnya, seperti tradisi perlawanan dahulu yang pernah ada. Dalam sejarahnya, pemuda bergabung dengan kelompok tani dalam perang-perang lokal, ikut serta dalam pemogokan buruh, bersatu dalam kekuatan besar Sumpah Pemuda, perjuangan proklamasi, penggulingan rezim, dan momen-momen penting perjuangan dan perlawanan lainnya. Peristiwa-peristiwa penting ini tentu menjadi semangat serta pembelajaran agar kita menyadari peran sesungguhnya sebagai kaum muda, yang dari dulu sangat dekat dengan tradisi perjuangan dan perlawanan.
Sudahkah kita menyadarinya?
Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.