Pekarangan Kolektif Sebagai Gerakan Sosial Pangan
Pekarangan Kolektif sebagai Gerakan Sosial Pangan |
Oleh: Tri Hariyono
Praktek pertanian skala kecil di pekarangan rumah semakin populer semenjak adanya pandemi COVID-19 belakangan ini. Masyarakat rumah tangga atau komunitas perkotaan berusaha memenuhi kebutuhan pangannya dengan luasan terbatas. Lahan yang sempit akan optimal jika ditanami jenis tanaman yang tepat. Ditambah lagi kultur dan budi daya sesuai anjuran. Memanfaatkan media tanam dengan luasan terbatas bisa dimulai di kehidupan masyarakat. Memulainya bisa dengan apa yang sudah ada, dengan teknik yang sederhana ini semua orang bisa melakukannya, tinggal bagaimana agar tanamannya tersebut bisa hidup (bisa dengan menyiapkan pot dan media tanam lainnya). Memanfaatkan pekarangan untuk bercocok tanam sebenarnya sudah menjadi kultur masyarakat Indonesia. Sejak dahulu masyarakat desa dengan iklim tropisnya telah memanfaatkan pekarangan sebagai medium tanaman.
Salah satu kultur warisan tersebut adalah Wanapangan (food forest), yakni pekarangan kolektif warga dengan menaman tanaman secara berlapis-lapis tanaman, bahkan bisa sampai 6-7 lapisan. Di dalam konsep wanapangan ini, masyarakat dianjurkan agar jangan hanya makan nasi saja, namun mencari sumber pangan alternatif seperti ganyong, jagung, sorgum, tela, dan lainnya sangat diutamakan. Penting juga untuk dipahami bahwa dalam mempraktekkan tanaman pangan secara kolektif, diperlukan kesediaan warga untuk belajar kepada Petani di desanya. Namun, pada sisi yang lain, petani juga berkesadaran untuk mendampingi warga. Posisi petani sangatlah penting dan sangat dibutuhkan karena hanya melalui Petani beserta ilmu dan kerelaannya, tanaman akan tertanam dengan baik dan dirawat sesuai karakter dan sifat tanamannya.
Dalam tradisi pertanian ekologis terdapat adagium; Mengolah Tanah Dahulu, Menanam Tanaman Kemudian. Maksud ungkapan tersebut adalah pentingnya rehabilitasi lahan untuk mengembalikan unsur hara, modal utama tanaman untuk tumbuh. Rehab Lahan dapat dilakukan dengan menebar kompos, mikroba lokal (MoL), daun-daunan, dan/atau seluruh bahan organik ke tanah menjadi humus (menjadikan tanah menjadi subur). Cara lain juga dapat dengan menanam tanaman Pengikat N (Nitrogen; salah satu unsur hara dasar yang dibutuhkan tanaman) semisal; Legum dan beberapa Jenis Koro-Koroan. Cara-cara tersebut penting untuk menyiapkan tanah yang akan dijadikan tanaman kolektif tersebut.
Sedangkan untuk warga masyarakat yang berlahan sempit seperti masyarakat perkotaan, menanam di pekarangan tidak harus dengan ongkos yang tinggi. Masyarakat bisa menggunakan ember dan bahan bekas lainnya memanfaatkan ruang kosong. Lahan sempit dan terbatas bisa ditanam berbagai sayuran seperti kangkung, bayam, sawi dengan menggunakan bahan bekas tersebut maupun bisa ditanyam secara hidroponok. Selain itu bisa dikembangkan tanaman cabai, serai, jahe, serta tanaman rempah dan obatan lainnya (TOGA). Bisa juga tanaman yang membutuhkan perawatan seperti timun, tomat, dan terong. Selain itu, ada beberapa tanaman yang bisa dibudidayakan di pekarangan, yakni buah-buahan seperti sirsak, jambu air, pisang kapok Kalimantan, belimbing wuluh, rambutan hingga daun cincau.
Belajar Dari Giyambong
Tidak seperti kebanyakan orang modern di Jawa, sebagaimana yang dituturkan oleh Jhamtani (2008) penduduk desa Giyambong, Kecamatan Bruno, Purworejo Jawa Tengah makan nasi hanya ketika mereka merasa menyukainya atau selama acara tertentu saja. Dari generasi ke generasi, makanan dari ketela telah menjadi makanan pokok sekatar 1.359 penduduk di desa tersebut. Penduduk ini tidak tergantung hanya pada beras sebagai bahan pangan pokok mereka. Desa ini sungguh merupakan contoh yang bagus untuk suatu komunitas lokal yang berswasembada pangan melalui system penataan pangan komunitasnya. Penduduk desa menanam empat jenis ketela: palangka, randu, lanteng, dan tela pait atau jawa ireng. Semua jenis ketela ini ditanam bersamaan dengan tanaman pangan lainnya secara bergulir, yakni padi lahan kering (gogo) pada musim penghujan, atau sayuran dan umbi-umbian (seperti ketela rambat, jahe dan taro selama musim kemarau). Mereka juga menanam kopi yang umumnya dikonsumsi sendiri.
Ketersediaan pangan yang mencukupi di Giyambong semakin diperkuat dengan kebiasaan baik warganya beternak ayam dan memelihara ikan, selain menanam berbagai macam tanaman bebuahan (terdapat 14 varietas pisang yang ditanam, papaya, jambu, Nangka, nanas dan sebagainya). Disamping itu, untuk keperluan papan rumah dan kayu bakar, mereka juga menanam pepohonan keras dan tentu saja, mereka memelihara berbagai macam tanaman hijau untuk pakan ternak seperti caliandra, ketela khusus (bahasa lokal: karet) yang daunnya dimakan ternak. Semua tanaman untuk pakan ternak itu sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi tanah miring.
Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sebagai sumber penghidupan berkelanjutan, tedapat dua sumber pendapatan: Pertama, membuat gula dari nira aren yang ditanam oleh sebagian warga. Mereka membuat sari larutan gula aren dan membuatnya menjadi gula yang kemudian dijual di desa-desa sekitar atau di pasar. Buah aren yang matang (Bahasa lokal: kolang kaling) juga dijual, sementara pohon aren yang sudah tua juga mereka manfaatkan untuk membuat perabot rumah tangga dan peralatan Bertani. Kedua, hampir semua orang dewasa di Giyambong bekerja sebagai penyadap getah pinus diperkebunan pinus milik perhutani dengan mendapatkan upah Rp.75.000 per container.
Belajar dari kasus desa Giyambong penting dicatat bahwa keseimbangan antara manakan beras dan bukan beras adalah bagian penting dari ketahanan pangan. Dan kasus di Giyambong bukanlan kasus khusus atau baru sama sekali. Banyak komunitas di Indonesia tidak sepenuhnya tergantung pada beras, di bagian timur Indonesia sebagian penduduknya masih menjadikan sagu sebagai makanan pokok mereka. Dengan demikian kalau menengok dari pengalaman desa Giyambong sebagaimana dipaparkan di atas, diperlukan sebuah kelembagaan pangan yang tidak hanya mengurus soal-soal sarana produksi tetapi juga memperhitungkan berapa jumlah pangan yang harus disediakan oleh masyarakat dan darimana didapatkan, jika tidak mampu memproduksi sendiri.
Kepemilikan Lahan dan Tata Kelola Komunitas
Kepemilikan lahan dan tata kelola komunitas merupakan satu aspek dalam pertanian ekologis yang vital, seringkali tidak terlihat. Karena alasan inilah, Bill Mollison menyebutnya sebagai ‘invisible structures‘. Kita harus dapat memastikan bahwa infrastruktur dan sistem fisik, kebun dan lain sebagainya mampu menstimulasi kreativitas sekaligus perawatan berjangka panjang. Lalu bagaimana memulainya? Segala bentuk kegiatan diperlukan perencanaan. Begitu pula dengan menggerakkan sistem pangan komunitas dengan pemanfaatan pekarangan. Sistem pangan komunitas melalui gerakan menanam pekarangan secara kolektif dimulai dengan pertama menanam terlebih dahulu untuk kemudian menyusun rencana demi pemenuhan kebutuhan masyarakat sekitar. Mapping kepemilihan lahan/pekerangan, hal ini penting dilakukan untuk memastikan terdapat tempat untuk ditanami dalam kerangka pemenuhan kebutuhan pangan warga. Pemetaan lahan pekarangan dan kebutuhan sekurang-kurangnya meliputi warga 1 RW untuk dijadikan lokasi produksi dan tempat Titik Kirim/Buffer dari hasil panen tersebut.
Setelah terpetakan, langkah selanjutnya membuat Titik Simpul/Kirim agar kebutuhan pangan hasil panen langsung dapat dikirim ke konsumen/pembeli langsung. Demi memudahkannya, diperlukan suatu platform untuk memastikan ketersediaan pangan dan mendukung keberlangsungan lumbung warga (tidak terbatas pada data fisik & ruang pertukaran produk) saja, melainkan platform juga berfungsi sebagai Sumber Daya yang dimiliki bersama oleh warga (meliputi sumber daya pengetahuan, barang, finansial. sosial/kelembagaan) untuk dapat didayagunakan menuju kemandirian warga.
Dengan demikian, mengacu pada kasus di atas, untuk menggerakkan kelembagaan pangan, diperlukan kepedulian yang dalam tentang hak atas pangan bagi seluruh lapisan masyarakatnya. Kelembagaan pangan dapat berkelanjutan melebihi umur proyek yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah. Artinya, kelembagaan pangan dibentuk atas kesadaran masyarakat untuk menjamin ketersediaan pangan dalam kualias dan kuantitas yang memadai, sehingga selama masyarakat perlu pangan, kelembagaan pangan akan tetap hidup (Astuti: 2008). Mendorong keberlanjutan kelembagaan pangan, dapat dimulai dari berbagai sisi atau berbagai aktor. Tahapan yang lebih penting adalah pasca inisiasi program, siapa dan darimana aktor-aktor penggerak sistem pangan komunitas (wanapangan), sehingga mampu menjaga dinamika dan irama sistem pangan komunitas tetap hidup. Kelembagaan pangan sebisa mungkin berasal dari dalam masyarakat sendiri, dan digerakkan oleh aktor atau kader-kader penggerak dari kalangan masyarakat sendiri. Jadi, sudah siap kan memulai dan melanjutkan gerakan sosial pangan?. Demikian.
Referensi
Anam M Alhabsyi, Pengantar Permakultur: Desain Sistem Holistik Lumbung Kampung Nuswantara, dalam https://issuu.com/anamm.alhabsyi/docs/pengantar_permakultur_-_final-a5
Dwi Astuti, “Pangan Sebagai Gerakan Sosial”, dalam Basis No.05-06 Mei-Juni 2008.
Hira Jhamtani, Lumbung Pangan: Menata Ulang Kebijakan Pangan (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Wahono, “Menggerakkan Sistem Pangan Komunitas”, dalam http://bitra.or.id/2012/2010/05/26/menggerakkan-sistem-pangan-komunitas/
Penulis : Tri Hariyono
Editor : Mh Maulana
Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.