Perempuan dan Pangan di Masa Pandemi
Badai perubahan telah tiba. Semenjak pandemi terjadi, cara hidup manusia hampir semua secara global berubah total. Tidak terencana dan direncanakan, kehidupan publik berpindah ke rumah. Bekerja di kantor menjadi bekerja di rumah (Work from Home atau WFH). Aktivitas manusia menjadi dibatasi hanya di rumah saja (stay at home), kecuali untuk keperluan tertentu seperti keterpaksaan mencari nafkah, membeli stok pangan, dan kebutuhan domestik lainnya. Kegiatan sekolah anak juga terhenti secara fisik dan dipindahkan ke rumah. Apakah ada akibat dari pemusatan kegiatan ini kepada perempuan (terkhusus para ibu dan istri) secara umum? Isu inilah yang akan diangkat penulis dalam menyoti akses dan peran kaum ibu terhadap pangan (dalam hal ini pemenuhan gizi keluarga).
Mula-mula sekali banyak manusia digerakkan meneruskan kehidupannya tak lain tak bukan adalah untuk pangan. Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (UU No. 18 Tahun 2011 tentang Pangan). Tiap mahkluk hidup membutuhkan pangan, begitu juga dengan manusia. Selain untuk tumbuh dan berkembang, pangan merupakan sumber tenaga bagi manusia untuk tetap sehat, sehingga mampu bergerak, beraktifitas dan berproduksi. Untuk memperoleh semua itu, maka tubuh manusia membutuhkan pangan yang mempunyai nilai gizi dan terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya baik secara fisik, biologi maupun kimia.
Dalam konteks sosial budaya, pangan tidak hanya bernilai gizi, karena di masyarakat pangan memiliki dimensi dan nilai yang tinggi. Pangan merupakan alat sosial dalam kehidupan masyarakat. Kerap kali pangan menjadi alat perekat bagi suatu komunitas sekaligus identitas. Semisal sagu, menjadi identitas masyarakat adat Papua, gaplek dan tiwul pada masyarakat Gunungkidul dan sebagainya.
Jika melihat esensi utama pangan sebagai sumber gizi untuk hidup sehat, maka pangan sangatlah luas dan kaya sumbernya. Namun di Indonesia, pangan masih dimaknai sebagai bahan pangan pokok. Dan karena pangan pokoknya beras, jadilah seolah-olah ketika muncul kata pangan sama artinya dengan beras. Kekeliruan lain yang muncul ketika berbicara pangan begitu diidentikkan dengan persoalan teritori, sering hanya soal daratan semata (baca: pertanian). Padahal pangan berasal dari nabati dan hewani. Untuk sumber pangan hewani, Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber yang melimpah karena dikelilingi oleh lautan. Namun sayang, potensi itu pun belum terlihat dioptimalkan.
Dalam masa WFH di situasi pandemi ini, perempuan berperan dalam mengatur ekonomi dan pola hidup sehat keluarga. Selain itu, karena dalam menghadapi Covid19 ini diperlukan imunitas tubuh yang baik, para ibu juga diharapkan mampu menyediakan makanan dengan asupan gizi yang baik, selain menambahkan asupan suplemen jika diperlukan. Jadi ringkasnya, perempuan juga menjadi penjaga utama kesehatan keluarga untuk menjadikan imun tubuh kuat serta melakukan perawatan saat ada anggota keluarga yang terserang sakit.
Akses Pangan bagi Perempuan
Karena perempuan adalah penjaga utama Kesehatan keluarga terutama dalam menghadapi situasi pandemi sekarang ini dan karena terkait erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Isu kesetaran dalam hal akses terhadap peluang serta kesempatan, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam urusan pangan, dengan sendirinya menjadi sangat penting. Kita semua tahu bahwa Indonesia mengatur kondisi perpanganannya melalui Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011, namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan perlindungan terhadap produsen kecil (baca: petani), terutama perempuan. Slogan membangun Kedaulatan pangan, tidaklah cukup dijamin dengan penguatan kultur dan aneka pangan, tetapi harus diikuti prinsip kesetaraan dan sensitifitas gender. Dalam skala global, menurut Vandana Shiva (1997) semua perempuan dibelahan dunia terbukti terlibat dalam proses panjang rantai makanan, baik sebagai produsen makanan, pencari nafkah yang bertanggung jawab terhadap kondisi makanan keluarga, menyimpan makanan maupun sebagai pihak yang memproses dan menyiapkan makanan untuk menjaga kesehatan dan aktivitas anggota keluarga. Perempuan juga mengurus ternak, mencari kayu bakar dan mengelola asupan air untuk keperluan rumah tangga. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization), besarnya produksi itu mencapai 80 sampai 90 persen di negara-negara subSahara Afrika, 50 sampai 90 persen di Asia, dan 30 persen di Eropa Tengah dan Timur (Schussler, 2013).
Perempuan juga bertanggung jawab terhadap gizi anak, mulai dari kandungan, menyusui hingga fase-fase kritis pertumbuhan. Bahkan di bagian terbesar pedesaan di Indonesia, perempuan mencurahkan waktu 4-5 jam perhari mengumpulkan bahan kayu dan air serta memasak. Perempuan juga masih bekerja bertani, mulai penyiapan benih, penanaman, pemeliharaan hingga panen dan pasca penen (Khudori, 2015). Inilah yang membuat beban perempuan semakin bertambah. Tambahan beban ini menyebabkan kebanyakan perempuan terpaksa bekerja sejak “matahari sebelum terbit sampai mata bapak terbenam”.
Semua kontruksi sosial tadi mengingatkan apa yang pernah dikatakan Mao Zedong tentang kaum perempuan Afrika. Mao mengatakan, kaum perempuan Afrika memanggul enam gunung dipunggungnya; pertama dan kedua adalah penindasannya oleh neokolonialisme dan struktur tradisional; ketiga adalah keterbelakangannya; keempat adalah seorang laki-laki; kelima warna kulit ras; dan keenam, yang tak kalah penting adalah dirinya sendiri. Perempuan menderita karena citra gender yang negatif, dari jaman yang menginternalisasikan ideologi patriarki dan hirarki gender. Semua itu akhirnya berdampak pada proses hubungan tata produksi pangan dipedesaaan. Pelbagai intriduksi teknologi produksi baru, seperti bibit unggul dan mekanisasi pertanian, kain menyingkirkan kaum perempuan dalam tata produksi pangan (Khudori, 2005).
Program-progam pembangunan pertanian seringkali menjadi korban generasi yang lapar karena tanah yang subur diubah untuk meningkatkan ekspor hasil panen, petani-petani gurem digusur, dan diversivikasi hayati, yang merupakan sumber makanan orang miskin, dibuang dan diganti dengan budaya tanam monokultur, atau sistem penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan kondisi ekologi atau kebutuhan pangan masyarakat. itu semua berimbas pada dampak kekurangan gizi pada anak-anak perempuan berlanjut hingga mereka dewasa hingga generasi mendatang.
Perlu Kebijakan Sensitif Gender
Dalam situasi pandemic sekarang ini diperlukan kebijakan yang sensitif terkait dengan keberadaan kaum ibu agar mereka para perempuan tidak menjadi korban lagi. Baik dalam konteks situasi sekarang ini, maupun dalam konteks kemiskinan baru. Terbilang masih sering dijumpai perempuan dan anak-anak diperlakukan sebagai kelompok marginal dalam sistem pangan (Shiva dan Mies, 2000). Hal ini bukan semata-mata karena status ekonomi mereka yang rendah, tetapi juga disebabkan oleh tidak adanya peluang ekonomi dan otonomi (termasuk kredit, kepemilikan lahan dan pewarisan), kurangnya akses ke pendidikan dan jasa pendukung serta minimnya partisipasi mereka dalam penentuan keputusan.
Berpijak dari kenyataan besarnya perempuan, maka diperlukan kebijakan pangan yang lebih sensitif gender (Khudori, 2005). Beberapa langkah yang dirasa perlu untuk mewujudkan kebijakan tersebut adalah dengan melakukan: Pertama, Mengevaluasi dan mereformasi pelbagai lembaga hukum, ekonomi, sosial dan budaya yang berhubungan –langsung maupun tidak langsung—terhadap pangan yang selama ini mendiskriminasi perempuan.
Kedua, Mendesain kebijakan dan program pertanian, pangan dan gizi yang lebih berpihak dan menempatkan perempuan sebagai gate keeper ketahanan pangan keluarga. Misalnya, program penyuluh baru harus memberi akses yang lebih besar pada perempuan. Data empiris menunjukkan, ketika memiliki kendali atas pendapatan, perempuan akan mengalokasikannya untuk kesejahteraan keluarga, terutama dalam memperbaiki ketahanan gizi dari kelompok paling rawan dikeluarga seperti balita, ibu hamil dan ibu menyusui.
Ketiga, penentuan partnership for action yang memperkuat partisipasi perempuan dalam mencapai dan membangun kedaulatan pangan melalui beragam tipe dan cakupan informasi berdasar kebutuhan gender. Langkah ini bisa ditempuh dengan beragam cara; diversifikasi menu keluargadari beras minded; pengelolahan makanan hemat bahan bakar dan minyak; paket makanan sehat; dan pemanfaatan lahan pekarangan. Di sini analisis gender harus diterapkan dengan pendekatan partisipatoris untuk membumikan program.
Sedangkan dalam tingkatan global, utuk mendukung perjuangan petani kecil dan tak bertanah untuk mendapatkan akses atas tanah, air, dan sumber daya agraria yang produktif berdasarkan Hak Asasi Manusia atas pangan yang layak, serta untuk mencapai demokrasi gender yang lebih besar, Menurut La via Campesina, penting kiranya untuk memberikan perhatian khusus pada perspektif gender dalam semua bentuk redistribusi tanah, program pengakuan hak, dan pengukuran yang meyertainya. Dalam Kampanye tersebut, bertujuan menerapkan reformasi agraria berdasarkan hak asasi manusia, dan menciptakan lingkungan pertanian yang:
- Memberikan petani kecil yang miskin kendali atas tanah, benih, dan air, sehingga mereka dapat hidup bermartabat;
- Memungkinkan produksi pangan yang aman dan bebas dari modifikasi genetik untuk semuanya;
- Menjamin alat produksi yang berkelanjutan untuk menjaga basis pangan demi generasi mendatang;
- Memperkuat hak-hak perempuan pedesaan dan kelompok-kelompok lain yang terpinggirkan;
- Menjamin kedaulatan pangan;
- Memperkuat komunitas pedesaan.
Tak ayal terbantahkan, Perempuan dan pangan begitu erat berkaitan. Perjuangan perempuan sudah semestinya terus menerus digelorakan atau kalau tidak, sebagaimana yang pernah Vandana Shiva katakan, “kita tidak akan memiliki masa depan manusia sama sekali.”.
Demikian.
Penulis : Tri Hariyono
Editor : Mh maulana
Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.