Pandemi Covid19, Kebusukan Sistem Kapitalisme, dan Bagaimana Kita Merumuskan Masa Depan
Masker adalah kewajiban di era Covid-19 |
Sampai dengan hari ini, tidak ada bukti yang kuat bahwa asal usul virus SARS-CoV-2, yang menyebabkan penyakit Covid-19, ialah pasar makanan laut yang juga menjual hewan liar. Seperti yang kita ketahui bahwa beberapa kasus awal orang yang didiagnosis Covid-19 bekerja di pasar ini atau berbelanja di sana pada hari-hari sebelum diagnosis mereka. Banyak media dan pakar telah menggunakan informasi ini untuk mengklaim bahwa pasar makanan laut Tiongkok yang juga memperdagangkan hewan peliharaan dan hewan liar adalah penyebab munculnya penyakit ini.
Namun, berkat bocoran resmi laporan resmi China ke South China Morning Post bahwa kasus Covid-19 yang pertama kali diketahui di Hubei terdeteksi pada pertengahan November, beberapa minggu sebelum sekelompok kasus yang terhubung ke pasar makanan laut Wuhan dilaporkan. Hal itu seperti mengoreksi bahwa virus SARS-Cov-2 tidak berasal dari pasar makanan laut tersebut.
Dari beberapa laporan yang ada, pada akhirnya juga, semakin banyak bukti yang menunjuk ke cerita asal yang berbeda untuk Covid-19. Seperti diberitakan IFL Science, Kamis (2/4/2020), semakin banyak bukti yang meragukan klaim bahwa pasar yang ramai ini adalah sumber penyebaran pandemi Covid-19. Dari pemberitaan itu diketahui juga bahwa tidak ada hewan yang diuji di pasar makanan laut Wuhan yang dites positif dan sekitar sepertiga dari set awal kasus yang dilaporkan pada orang di Wuhan dari awal Desember 2019 tidak memiliki koneksi ke pasar makanan laut tersebut, termasuk kasus yang dilaporkan pertama kali.
Kalau tidak dari Pasar Makanan laut Wuhan, lalu dari mana?
Pekan lalu, para ilmuwan di Scripps Research Institute, sebuah lembaga penelitian nir laba yang berpusat di San Diego Amerika Serikat, menerbitkan analisis sekuensing genom (pengurutan informasi genetik) virus SARS-CoV-2 dalam jurnal Nature yang menimbulkan lebih banyak keraguan tentang kemungkinan SARS-CoV-2 berasal dari pasar makanan laut Wuhan.
Para ilmuwan menyimpulkan bahwa SARS-CoV-2 berevolusi dari seleksi alam dan bukan rekayasa genetika di laboratorium, dan mereka mengatakan bahwa seleksi alam ini terjadi melalui dua skenario yang mungkin. Salah satunya adalah bahwa ia berkembang menjadi bentuk yang sangat patogen di dalam manusia. Dalam skenario ini tidak ada alasan untuk percaya bahwa pasar makanan laut Wuhan ada hubungannya dengan evolusi penyakit, bahkan jika sangat mungkin bahwa orang yang terinfeksi di pasar bisa menularkannya kepada orang lain.
Skenario kedua cocok dengan wabah coronavirus sebelumnya, di mana manusia tertular coronavirus mematikan setelah terpapar langsung dengan musang dalam kasus SARS, dan unta dalam kasus MERS. Dalam skenario ini, SARS-CoV-2 akan berevolusi ke bentuknya sekarang di inang hewan sebelum dipindahkan ke manusia. Seperti banyak ilmuwan lain, para peneliti Scripps berpikir bahwa kemungkinan besar penularan awal akan terjadi dari kelelawar ke hewan inang perantara, di mana virus kemudian berevolusi ke bentuk saat ini.
Peneliti Scripps7 selanjutnya mengatakan bahwa genetika tertentu dari SARS-CoV-2 menunjukkan bahwa “inang hewan mungkin harus memiliki kepadatan populasi yang tinggi (untuk memungkinkan seleksi alam untuk berjalan secara efisien) dan gen pengkode ACE2 yang serupa ke ortolog manusia, ”yang menjadi dasar virus SARS-CoV-2 pada manusia.
Jadi hewan apa yang cocok dengan kriteria ini?
Penelitian lain yang baru-baru ini diterbitkan mengidentifikasi inang hewan perantara yang paling mungkin untuk SARS-CoV-2, berdasarkan keberadaan mereka di Wuhan dan memiliki ACE2 mirip manusia yang memungkinkan pengikatan SARS-CoV-2. Ini adalah hewan yang diidentifikasi oleh studi: musang, babi, trenggiling, kucing, sapi, kerbau, kambing, domba, dan merpati.
Banyak hewan dalam daftar ini dibudidayakan secara industri di Cina, bahkan hewan liar seperti musang dan trenggiling secara intensif diternakkan untuk digunakan dalam pengobatan Tiongkok. Kecurigaan bahwa peternakan hewan liar mungkin berada di belakang wabah Covid-19 telah membuat pemerintah Cina menutup 20.000 peternakan hewan liar di seluruh negeri.
Tetapi hampir tidak ada perhatian diberikan kepada beberapa hewan lain dalam daftar ini, yang lebih jelas memenuhi kriteria “kepadatan populasi tinggi”. Babi akan menjadi salah satu kandidat yang jelas dari daftar ini, karena beberapa alasan.
Pertama, babi dan manusia memiliki sistem kekebalan yang sangat mirip, sehingga memudahkan virus untuk melintasi antara kedua spesies, seperti yang terjadi dengan wabah virus Nipah di Malaysia pada tahun 1998. Memang, hanya tiga tahun sebelum wabah Covid-19 dimulai, puluhan dari ribuan babi di empat pabrik peternakan di kabupaten Qingyuan di Guangdong, kurang dari 100 km dari tempat asal wabah SARS pada tahun 2003, meninggal karena wabah virus coronavirus (SADS) baru yang mematikan, yang ternyata mencapai 98 persen identik dengan coronavirus yang ditemukan pada kelelawar tapal kuda di gua terdekat. Untungnya penularan ke manusia tidak terjadi, tetapi tes laboratorium selanjutnya menunjukkan bahwa penularan semacam itu mungkin terjadi.
Provinsi Hubei, tempat Wuhan berada, adalah salah satu dari lima produsen babi terbesar di Cina. Selama dekade terakhir, peternakan babi kecil di provinsi ini telah digantikan oleh peternakan pabrik besar dan operasi kontrak berukuran sedang, di mana ratusan atau ribuan babi berseragam genetik terkurung dalam lumbung kepadatan tinggi. Peternakan industri ini adalah tempat berkembang biak yang ideal untuk evolusi patogen baru.
Peternakan babi pabrik Hubei masih terhuyung-huyung dari wabah besar demam babi Afrika yang melanda provinsi dan bagian lain Cina lebih dari setahun yang lalu, memusnahkan hingga setengah dari kawanan nasional. Dalam kondisi ini, sangat mungkin bahwa wabah virus corona baru di antara babi di provinsi tersebut dapat diketahui.
Organisasi Relawan serta ilmuwan lainnya telah meningkatkan alarm selama lebih dari satu dekade sekarang tentang bagaimana industrialisasi dan konsolidasi perusahaan dari produksi daging telah menghasilkan peningkatan risiko bagi munculnya pandemi global seperti Covid-1915. Tetapi kenyataan ini telah sepenuhnya diabaikan oleh pemerintah dan perusahaan daging besar yang menjadi tanggung jawab mereka. Seperti dicatat oleh ahli biologi evolusi Rob Wallace, “Siapa pun yang bertujuan memahami mengapa virus menjadi lebih berbahaya harus menyelidiki model industri pertanian dan, lebih khusus lagi, produksi ternak. Saat ini, hanya sedikit pemerintah, dan sedikit ilmuwan, yang siap melakukannya” Dengan ancaman yang meningkat dari Covid-19, perubahan arah yang radikal menjadi lebih mendesak dari sebelumnya.
Nampaknya eksploitasi sumber daya alam dalam sekala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat ancaman wabah juga semakin besar dari masa sebelumnya.
Bagaimana Pemerintah menangani wabah?
Semenjak otoritas kesehatan Tiongkok secara resmi mengumumkan mengunci “lockdown” kota Wuhan di Propinsi Hubai, pada tanggal 23 Januari 2020, rakyat Tiongkok menghadapi hari-hari yang sangat mendebarkan, angka infeksi terus meningkat tajam demikian juga dengan kematian. Ratusan sampai ribuan orang meninggal dalam satu harinya.
Pengumuman tersebut sepertinya terlambat karena virus yang kemudian diberi nama SARS-COV-2 itu ternyata sudah menginfeksi manusia sejak 17 Nopember 2019. Rentang waktu yang cukup bagi virus untuk ‘keliling’ dunia. Yang kemudian terkonfirmasi dengan munculnya kasus-kasus pertama dibanyak negeri. Keadaan yang membuat banyak negara menerbitkan peraturan-peraturan untuk mencegah dampak yang lebih buruk terjadi. Seperti pemerintah Taiwan, semenjak ditemukan kasus pertama di Taipe segera pemerintah menutup akses masuk laut dan udara, sejenak menepikan urusan-urusan ekonominya. Dan terbukti Taiwan, meskipun sangat dekat Cina, merupakan negara dengan kasus positif Covid19 paling sedikit di dunia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Rasanya tidak perlu diceritakan secara panjang lebar bagaimana respon pemerintah Jokowi sangat lambat dan cenderung meremehkan, di tengah banyak negara yang sudah membuat langkah antisipasi dan menerbitkan protokol kesehatan. Sampai dengan terkonfirmasi kasus positif Covid19 di Indonesia pada tanggal 2 maret 2020, lalu, belum ada peraturan pemerintah terkait pencegahan Covid19. Peraturan baru diterbitkan ketika Jokowi mengeluarkan Keppres no. 7/2020 tentang gugus tugas penanggulangan Covid19.
Sampai dengan hari ini Pemerintah sudah mengeluarkan 9 peraturan terkait wabah Covid19. Tapi maaf, sepertinya produk-produk hukum tersebut tidak jelas memberikan perlindungan bagi rakyat dari paparan Virus. Seperti Penerbitan Peraturan Pemerintah No 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mengapa pemerintah tidak memilih menjalankan UU No. 6/2018 tentang Karantina wilayah? Pemerintah berkilah tidak ingin mematikan perekonomian rakyat. Sungguh alasan yang mengada-ada, yang benar pemerintah tidak mau menyediakan kebutuhan pokok bagi warga negaranya karena dalam UU tersebut mengharuskan pemerintah menanggung kebutuhan pokok warga dan hewan peliharaan yg dikarantina. Dan pemerintah lebih melindungi pengusaha dengan tidak melakukan Karantina Wilayah.
Sekali lagi, PSBB dipilih karena negara memilih melindungi bisnis pengusaha besar atau pemilik modal besar dari pada melindungi kaum buruh, pekerja informal, dan rakyat lainnya dari paparan Virus. Seperti Permenkes №9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Penanganan Covid19. Memang ada tempat kerja yang diharus untuk Work From Home (WFH), namun tetap saja ada pengecualian untuk beberapa sektor, seperti keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik. Artinya hanya bosnya saja yang WFH, bukan? Kaum buruh masih saja harus berkumpul di dalam pabrik! Pekerja informal masih harus mencari nafkah untuk bertahan hidup!
Ada keengganan korporasi atau perusahaan besar untuk menghentikan roda ekonomi kapitalistik atau modal besar yang itu disokong oleh pemerintah dengan segala piranti kekuasaanya. Pemerintah menjadi pasukan kuning yang membersihkan jalan sambil menjadi sekuriti untuk mengamankan siapa saja yang berani menganggu putaran roda modal atau kapital. Tak berhenti di situ, pemerintah juga memberikan stimulus-stimulus serta garansi ketika roda kapital oleng disapu Corona.
Stimulus negara di bidang ekonomi terang terlihat jelas dengan diterbitkannya Perpu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Alih-alih menyokong kebutuhan rakyat kecil, kebijakan ekonomi ini lebih banyak menguntungkan pelaku swasta dan korporasi besar. Dalam Pasal 16 misalnya, Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan bantuan dana pada korporasi melalui Surat Utang Negara. Artinya, dengan dalih penyelamatan perusahaan karena krisis, Bank Idonesia bisa memberikan likuiditas besar-besaran. Juga di Pasal 5 di mana negara memberikan penurunan tarif pajak PPh badan menjadi 22% tahun 2020, 20% di 2022, dan 17% untuk wajib pajak dalam negeri. Ini berarti korporasi dibebani pajak lebih sedikit. Padahal kita tahu bersama betapa masifnya korporasi raksasa melakukan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam di Indonesia tanpa memperhatikan dampak ekologis.
Sekali lagi, tak cukup di situ saja. Di tengah wabah yang semakin cepat meluas RUU Cipta Kerja Omnibus Law terus dibahas meski mendapat banyak protes. Kesan yang nampak DPR memanfaatkan pandemi untuk melengkapi syahwatnya. Dapat dilihat dalam draf naskah akademiknya yang berprinsip investasi harga mati. Secara gamblang pemerintah memperuntukannya untuk kemudahan berinvestasi, namun mengesampingkan aspek yang lain, seperti ketenagakerjaan dan SDA.
RUU Cipta Kerja justru mengokohkan posisi korporasi kakap dan swasta. Sebut saja soal klaster ketenagakerjaan yang mulai dari mekanisme penghitungan upah, pemutusan hubungan kerja, pesangon, sampai dengan advokasi hubungan industrial yang jelas-jelas menguntungkan pengusaha. Hak-hak buruh semakin dipersempit, korporasi swasta yang justru mendapat banyak limpahan kemudahan. Atau juga di klaster yang berkait dengan lingkungan, di mana atas nama investasi, persoalan lingkungan tidak dijadikan prioritas.
Terang dan Jelas. meskipun di awal tulisan ini disebutkan bahwa virus Corona bermutasi lebih cepat karena eksploitasi besar-besaran pada sektor pertanian, khususnya industri peternakan, hingga menjadi patogen di tubuh manusia yang kemudian menjadi pandemi di seluruh dunia. Pemerintah seperti tidak hendak memetik pelajaran, bagaimana kerakusan modal telah menyebabkan musibah bagi umat manusia dan kerusakan ekologis.
Sungguh, sepenuhnya kita menyadari bahwa negara bukan lah entitas yang berdiri untuk semua golongan. Dan pada kenyataannya Negara adalah alat kekuasaan golongan untuk menggilas golongan lain, dalam konteks hari ini Negara Borjuasi modal dan Tuan tanah besar menindas kelas pekerja dan hamba sahaya. Pendapat yang tetap up to date sampai dengan hari ini. Jadi, tidaklah mengherankan jika negara hari ini dengan segala piranti kekuasaannya akan memilih merestorasi kapitalisme atau menyelamatkan modal besar dari pada menyelamatkan rakyatnya dari wabah Corona.
Jadi, Mari bertahan hidup bersama dengan membangun solidaritas antar rakyat.
Pandemi Covid19 menebalkan pertentangan antar golongan, antara penguasa dan para pemilik modal dengan mayoritas rakyat. Antara golongan pemilik dengan kaum tak berpunya. Bukan hari ini saja dunia menghadapi wabah, setidaknya ada tiga wabah besar yang memakan korban. Wabah hitam di Eropa. Flu Spanyol. Dan Pes di Jawa. Dari kesemuanya memantik perubahan geopolitik sesudahnya.
Sejarah telah menyediakan materi untuk dipelajari. Harapan perubahan ada di tangan kita.
Perkuat solidaritas antar rakyat untuk kemanusiaan. Kapitalisme memang telah lama sekarat namun berkali-kali berhasil merestorasi diri. Kapitalisme hanya akan merada di museum bersama sistem sosial yang telah usang lainnya jika para buruh, kaum tani dan pemuda bersatu dan bersolidaritas untuk menumbangkan tepat di jantungnya.
Hari ini Cuba telah memulainya, dengan menumbuhkan solidaritas di tengah pandemi dengan memberikan apa yang dimilikinya. Negara kecil itu mengirimkan Brigade-brigade Medisnya ke banyak negara untuk menumbangkan pandemi yang juga akan memberi pesan ancaman pada kapitalisme!
Kita bukan Cuba, itu sudah tentu. Tapi inspirasi solidaritasnya bisa kita ambil hikmahnya, dengan meneguhkan pendirian kita, memperkokoh barisan kita dan merajut solidaritas di antara kita, sesama rakyat. []
Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.