Menghidupkan Kembali Kejayaan Rempah di Indonesia: Momentum Pasca Pandemi
Oleh: Tri Hariyono
Pada bulan Maret tahun 2019 lalu, Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman menyelenggarakan International Forum on Spice Route (IFSR). Bertempat di Musium Nasional Jakarta, forum ini membahas tentang rempah-rempah. Dengan tema Reviving the World’s Maritime Culture through the Common Heritage of Spice Route, IFSR menjadi sarana untuk meningkatkan kembali peranan penting Indonesia dalam produksi dan perniagaan komoditas rempah. Dalam konteks yang lebih strategis, forum ini meletakkan Indonesia ke dalam percaturan perbincangan dunia (dimulai dari wilayah regional Asia Tenggara) dengan perspektifnya yang unik dalam memaknai sejarah perdagangan maritim dari masa ke masa. Bagaimana tidak? Kalau kita menelaah sejarah kemaritiman, Nusantara memiliki posisi strategis sebagai poros yang menghubungkan ‘negeri-negeri di atas angin’, yaitu Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara telah menjadi pemain penting dalam perdagangan dunia dan telah lama dikenal sebagai negara pemasok utama komoditas penting di dunia, yakni rempah-rempah.
Poros perdagangan rempah-rempah global Asia, India–Nusantara–Tiongkok, melalui perairan Hindia hingga Pasifik meninggalkan jejak peradaban yang signifikan. Terletak di sepanjang jalur maritim tersibuk di dunia, Nusantara dari masa ke masa telah menjadi daerah strategis yang amat penting dan tujuan perdagangan selama ribuan tahun. Sebagai akibat dari lalu lintas laut yang padat ke Asia Timur, Timur Tengah, Eropa, dan sebaliknya, banyak peradaban berinteraksi, bertukar pengetahuan, pengalaman, dan budaya. Ia menjelma sebagai ruang silaturahmi antarmanusia lintas bangsa sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan dan praksis melampaui konteks ruang dan waktu. Dipertemukan laut dan samudra. Warisan budaya maritim dalam jejak perniagaan global itu menjadi semakin penting untuk diangkat, dikaji, dan dimaknai kembali.
Pandemi dan momentum kebangkitan rempah
Dalam masa pandemi dan krisis kesehatan global ini, berbagai negara termasuk Indonesia menjalankan berbagai cara untuk membantu mengatasi serangan dari wabah mematikan ini. Upaya untuk menjauhkan masyarakat dari kerumunan, melarang interaksi jarak dekat dan bahkan meminta untuk melakukan berbagai aktivitas dari rumah saja menjadi tren dalam penanganan penyebaran COVID-19. Indonesia yang merupakan sebuah negara yang sedang berjuang untuk keluar sebagai negara berkembang Asia ini juga mengalami berbagai tantangan dalam hal penanganan pandemi ini. Berbagai fasilitas kesehatan yang dimiliki, sampai sekarang masih berjuang untuk menekan angka kematian warga melawan serangan virus ini. Salah satu upaya untuk melawan serangan virus dimaksud adalah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh (imun). Obat herbal yang berasal dari ramuan rempah-rempah menjadi alternatif dan menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan daya tahan tubuh warga masyarakat. Hal yang sama sebenarnya sudah dijalani oleh pemerintah Cina. Sejak pandemi produk obat herbal Negeri Tirai Bambu seperti Linhua Qingwen Jiaonang dan Hua Xiang Zheng Qi Kou Fu Ye menjadi sangat popular karena dipercaya mampu mengatasi serangan flu dan masuk angin (kabar24.bisnis.com/28/04/2020).
Jika dalam masa pandemi COVID-19, perdagangan obat herbal Cina meningkat, maka jamu dan minuman tradisional Indonesia pun memiliki peluang yang sama. Semakin mewabahnya COVID-19 menjadi momentum yang tepat untuk memanfaatkan dan menghidupkan kembali kejayaan rempah-rempah negeri ini. Dalam pembukaan Asian Agriculture and Food Forum (ASAAF) 12 Maret 2020 Lalu, Pemerintah menyakini bahwa seduhan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, sereh dan kayu manis bisa meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan virus (setkab.go.id, 2020).
Meningkatkan Imunitas: Refleksi Gastronomi di Tengah Pandemi
Pemerintah Indonesia melalui Tim Penanggulanan Covid-19, menginisiasi kebijakan ini dengan harapan bahwa jika komunitas dibiarkan terjangkiti, maka pembentukan kekebalan kelompok (herd immunity) dapat menghentikan penyebaran infeksi. Herd immunity atau kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu (https://en.wikipedia.org/wiki/Herd_immunity). Semakin banyak orang yang kebal terhadap suatu penyakit, semakin sulit bagi penyakit tersebut untuk menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi.
Herd Immunity adalah konsep epidemiologis yang menggambarkan keadaan di mana populasi – biasanya orang – cukup kebal terhadap penyakit sehingga infeksi tidak akan menyebar dalam kelompok itu. Strategi ini dipercaya dapat melindungi kelompok rentan. Herd immunity adalah konsep yang terkait dengan program vaksinasi untuk mendapatkan kekebalan pada banyak orang. Kekebalan dapat diperoleh dengan infeksi, atau dengan vaksinasi dapat dilakukan pada kelompok rentan yang telah terinfeksi. Jadi, semakin banyak orang yang terinfeksi dan sembuh, semakin banyak juga orang yang kebal dan herd immunity pun akan terbentuk. Keberhasilan dalam metode herd immunity atau vaksinasi tersebut akan berhasil di beberapa populasi apabila kampanye untuk social distancing di daerah berisiko tinggi gencar dilakukan sehingga dapat menjadi cara efektif paling akhir untuk menghambat mata rantai penyebaran virus. Masalah lain akan muncul karena kekebalan setiap orang yang rentan terkena virus tidak sama. Jika dalam kelompok ada yang pernah terpapar virus, maka akan memiliki kekebalan biologis baru yang dapat melindunginya dari kontraindikasi vaksinasi untuk dirinya dan mencegah penularan (Fine P, Eames K, Heymann DL, 2011). Kendati demikian, sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal medis Lancet menunjukkan bahwa tidak hanya mereka yang rentan saja perlu dilindungi karena anak-anak mungkin menularkan virus meski tidak menunjukkan gejala apapun. Para peneliti menemukan seorang anak yang berada pada satu keluarga terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala. Namun,hasil CT Scan dada menunjukkan bahwa ia memiliki pneumonia dan bahkan hasil tes virus juga dinyatakan positif COVID-19 (Detik News, 2020).
Pendekatan herd immunity ternyata mengundang polemik karena dianggap bukan solusi yang tepat sebagai penghambat penyebaran virus (Kompas/19/05/2020), Meskipun risiko penerapan herd immunity sangat tinggi, namun sebagian masyarakat meyakini bahwa strategi ini akan dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19. Meskipun demikian, sebanyak apapun kebijakan dibuat dan dijalankan dengan ketat, tetap yang dibutuhkan adalah kesadaran dan kepatuhan dari individu dan kelompok masyarakat. Mereka yang tampak sehat, justru bisa jadi yang menjadi penyebar virus. Oleh karena itu, menjaga jarak, menggunakan masker ketika keluar rumah atau ketika berinteraksi dengan orang lain, serta stay at home adalah pilihan tepat di tengah situasi wabah berbahaya ini.
Jika pola penanganan COVID-19 melalui herd immunity dengan vaksinasi dipercaya dapat membantu kekebalan tubuh komunitas, maka obat herbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh individu mencegah terjangkiti virus. Namun BPOM Indonesia menyatakan bahwa meskipun banyak jenis obat herbal yang muncul, tidak semua dikategorikan dapat memelihara daya tahan tubuh. Hanya beberapa obat tradisional terstandar saja, seperti obat yang mengandung jahe, kunyit, temulawak, pala, dan beberapa rempah lainnya.
Lebih lanjut, meskipun ada beberapa pihak yang menganggap jamu atau rempah hanya mitos, namun bagi sebagian besar masyarakat lokal racikan jamu atau rempah-rempah dalam masa pandemi ini dapat membantu meningkatkan imunitas tubuh. Meracik dan meminum ramuan herbal sebagai bentuk reproduksi pengetahuan tradisi masyarakat. Semangat untuk menjaga daya tahan tubuh agar tidak terpapar COVID-19 telah mengembalikan memori kolektif masyarakat Indonesia tentang ramuan rempah dengan pengetahuan yang beragam. Pengetahuan lokal tentang ramuan herbal seperti empon-empon juga memiliki varian lain misalnya Wedang Uwuh (terdiri dari rempah dengan bahan kayu secang, daun cengkeh, dahan cengkeh, jahe dan kapulogo) khas Jogja, Bir Pletok sebagai minuman penyegar tubuh khas Betawi yang terdiri dari 11 macam rempah dengan bahan baku jahe putih, jahe merah, sereh, kayu manis, daun pandan, daun jeruk, kulit kayu secang, kulit kayu mesoyi, kulit kayu manis, kapulaga, jinten hitam, cengkeh, bunga lawang, biji pala, adas, lada hitam, dan lada putih. Ramuan yang muncul pada periode kolonial di Batavia ini hingga Maret 2020 mengalami lonjakan permintaan hingga ke pasar luar negeri sebesar 300 persen.
Situasi pandemi telah membuka peluang-peluang usaha baru dalam bidang gastronomi. Dalam pantauan pada akhir Maret 2020, lonjakan permintaan tertinggi dari bahan rempah yaitu jahe merah yang menempati angka Rp. 100.000,- per kilogram yang sebelumnya seharga Rp.40.000,- per kilogram. Bisnis gastronomi Indonesia ini diharapkan akan mendapatkan pasarnya di Eropa, terutama karena memang sejak dahulu negara-negara Eropa sudah menjadi pasar bagi rempah-rempah Indonesia. Data dari Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa terdapat sejumlah negara yang menjadi tujuan ekspor obat tradisional Indonesia antara lain kawasan ASEAN, Eropa, Afrika serta Timur Tengah (bisnis.tempo.com/24/06/2020).
Penyebaran virus corona menimbulkan dampak negatif terhadap warga masyarakat dunia. Namun mungkinkah 2020 dan krisis kesehatan dunia akibat serangan virus corona akan menjadi era baru dari pergerakan industri makanan minuman kesehatan? Melihat tren dari fenomena tersebut pasar rempah Indonesia perlu optimistis dan bergerak strategis dalam menjaring momen pasar global diiringi peningkatan kemampuan gastrodiplomasi. Oleh karena itu, partisipasi berbagai pemangku kepentingan seperti akademisi, praktisi, pemerintah, media dan gerakan masyarakat penting dan dibutuhkan untuk memperkuat promosi untuk penjualan rempah Indonesia di era pandemi ini. Demikian.
Penulis : Tri Hariyono
Editor : Mh Maulana
Kanal Muda. Mengalirkan Kehidupan.